BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, antropologi tergolong ilmu
yang masih muda yakni berusia baru sekitar satu abad. Hal itu yang kemudian
menyebabkan ruang lingkup ilmu antropologi masih cukup kompleks sampai saat
ini. Tak heran jika pokok-pokok keilmuan antropologi pun masih saja menimbulkan
perbedaan dan menjadi bahasan oleh berbagai aliran di kalangan ilmuwan
antropologi sendiri.
Dalam perkembangannya, antropologi juga menjadi ilmu yang
memiliki pengkhususan dari tiap penelitiannya. Penggunaan ilmu antropologi
mulai banyak ditujukan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam
masyarakat. Pengkhususan atau spesialisasi antropologi ini belum lama
dikembangkan. Spesialisasi antropologi yang pertama kali muncul ialah antropologi
ekonomi. Spesialisasi ini berawal dari seorang antropologi asal Inggris Raymon
W. Firth. Firth memulai penelitian terkait gejala-gejala ekonomi pedesaan,
penghimpunan modal, pengerahan tenaga, sistem produksi dan pemasaran lokal dari
hasil pertanian dan perikanan di Oseania dan Malaysia dengan menggunakan
metode-metode antropologi.
Salah satu persoalan pembangunan masyarakat desa yang umum
saat itu ialah kesehatan masyarakat. Pada masa itu, para ahli antropologi
banyak mendapat permintaan dari para dokter kesehatan masyarakat atau para
dokter ahli gizi untuk membantu pekerjaan mereka. Para ahli antropologi
biasanya diminta membantu meneliti atau dimintai data mengenai konsepsi dan
sikap penduduk desa tentang kesehatan. Mulai dari pembahasan sikap penduduk
tentang sakit, sikap terhadap dukun, terhadap obat-obatan tradisional, tentang
kebiasaan-kebiasaan atau pantangan-pantangan makan, dan sebagainya.
Budaya sebagai salah satu unsur dalam antropologi juga erat
kaitannya dengan dunia kesehatan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan, segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk hal itu adalah Cultural Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Rumah sakit sebagai
sebuah organisasi terpengaruh oleh perubahan budaya. Model perubahan budaya
(perhatikan Gambar 1.6) dapat dilihat sebagai suatu interaksi antar berbagai
budaya di berbagai tingkat kehidupan manusia. Dalam tingkat global terjadi
berbagai perubahan penting misalnya telekomunikasi, sistem informasi, dan usaha
peningkatan efisiensi di perusahaan. Sistem telekomunikasi dengan satelit
memungkinkan siaran televisi berjalan 24 jam misalnya, stasiun televisi CNN
yang menyiarkan berbagai peristiwa di seluruh pelosok dunia. Internet
meningkatkan efisiensi perusahaan dalam komunikasi. Pada intinya bahan
informasi menjadi tersedia dengan mudah. Globalisasi ini akan berinteraksi
dengan berbagai budaya.
B. Rumusan
Masaalah
1. Apa yang di
maksud dengan rumah sakit?
2. Apa yang
dimaksud dengan kebudayaan menurut antropologi?
3. Bagaimana
kebudayaan di rumah sakit menurut antropologi?
4. Bagaimana
interaksi antar pasien menurut antropologi ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui yang maksud dengan rumah sakit menurut antropologi
2. Untuk
mengetahui kebudayaan menurut
antropologi
3. Untuk
mengetahui kebudayaan di rumah sakit
menurut antropologi
4. Untuk
mengetahui interaksi antar pasien
menurut antropologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Rumah
Sakit
Menurut Kemenkes Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010
adalah:
Rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat. Sedangkan pengertian rumah sakit menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya
orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.
Dari
pengertian diatas, rumah sakit melakukan beberapa jenis pelayanan diantaranya
pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan
rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, sebagai tempat pendidikan
dan atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat penelitian dan
pengembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan serta untuk menghindari risiko
dan gangguan kesehatan sebagaimana yang dimaksud, sehingga perlu adanya
penyelenggaan kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan
kesehatan.
B. Kebudayaan Menurut Antropologi
Budaya sebagai salah satu unsur dalam antropologi juga erat
kaitannya dengan dunia kesehatan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan, segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk hal itu adalah Cultural Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Setiap masyarakat dipastikan membuat
kebudayaannya masing-masing yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka.
Kebudayaan pun meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
masyarakatnya. Karena itu terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan
dapat bersifat abstrak. Perwujudan kebudayaan pun bisa berupa benda-benda
ciptaan manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam hal ini, kebudayaan
dibuat untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Bisa
berupa perilaku ataupun benda-benda bersifat nyata, seperti pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur struktur
sosial, religius, dan lain-lain. Tidak hanya itu, kebudayaan juga bisa mencakup
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan yang meliputi sistem ide atau gagasan dalam pikiran
manusia. Dalam hal ini, kebudayaan dinilai mampu mempengaruhi tingkat
pengetahuan manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu
bersifat abstrak. Kebudayaan diwujudkan dalam benda-benda yang diciptakan oleh
manusia, baik berupa perilaku maupun benda-benda yang bersifat nyata. Misalnya
pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, dimana kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Salah satu contoh budaya kesehatan
yang berubah dari waktu ke waktu adalah tentang cara menjaga kesehatan
personal, seperti mandi, keramas, atau sikat gigi. Pada zaman dahulu, manusia
di berbagai daerah di belahan bumi memiliki cara-cara berbeda dalam
membersihkan tubuh. Penggunaan bahan yang lazim pada masa itu diantaranya
adalah minyak, abu, atau batu apung, sesuai dengan kebudayaan mereka.
Bahan-bahan itu dipilih
Mengacu pada esensi
budaya, nilai budaya sehat merupakan bagian yang tidak terpisahkan akan
keberadaanya sebagai upaya mewujudkan hidup sehat. Budaya hidup sehat pun telah
menjadi bagian dari budaya manusia yang ditemukan secara universal. Dari budaya
pula, hidup sehat dapat ditelusuri, yaitu melalui komponen pemahanan tentang
sehat, sakit, derita akibat penyakit, cacat dan kematian. Beragam nilai
masyarakat yang dilaksanakan dan diyakini, serta kebudayaan dan teknologi yang
berkembang, juga dapat menjadi acuan menelusuri pola hidup sehat.
Dalam ilmu kesehatan, antropologi memiliki peran yang cukup
penting. Dengan mengombinasikan antropologi dengan ilmu kesehatan, diperoleh
berbagai manfaat bagi praktik ilmu kesehatan itu sendiri. Kombinasi tersebut
juga diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan kesehatan yang ada di tengah
masyarakat. Hal itu diupayakan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Beberapa manfaat yang diperoleh dengan dihubungkannya antropologi dengan ilmu
kesehatan antara lain:
1.
Antropologi sangat dibutuhkan dalam
merancang sistem pelayanan kesehatan modern yang bisa diterima masyarakat
tradisional.
2.
Dengan antropologi, petugas kesehatan
bisa merumuskan program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat.
3.
Penanganan kebiasaan buruk yang
menyebabkan sakit bisa dilakukan dengan lebih mudah dan tepat.
4.
Pengetahuan dalam antropologi dapat
memberikan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pembangunan
kesehatan, mendukung perumusan kebijakan masalah kesehatan, dan mengatasi
kendala dalam pelaksanaan program kesehatan melalui pendekatan kebudayaan.
5.
Antropologi memberikan suatu cara untuk
memandang masyarakat secara keseluruhan, termasuk individualnya Dimana cara
pandang yang tepat dapat meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat dengan
tetap pula dengan bertumpu pada akar kepribadian masyarakat yang terbangun.
6.
Memberikan suatu model yang secara
operasional berguna untuk menguraikan proses sosial budaya di bidang kesehatan.
7.
Sumbangan terhadap metode penelitian
dan hasil penelitian, baik dalam merumuskan suatu pendekatan yang tepat maupun
membantu analisis dan interprestasi hasil tentang suatu kondisi yang ada di
masyatakat.
C.
Kebudayaan Di Rumah Sakit Menurut Antropologi
Pengaruh global berbasis pada mekanisme pasar berdampak pada
kehidupan sosial masyarakat. Dampak tersebut dapat dilihat pengaruh berbagai
simbol produk global terhadap rakyat Indonesia seperti minuman Coca Cola,
McDonalds, mobil BMW, Aqua hingga ke gaya kehidupan modern (lihat Bab 1). Pada
sektor kesehatan, sumber daya manusia juga terpengaruh dengan pola kehidupan
global. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi budaya bangsa Indonesia di
berbagai tingkat. Perubahan budaya tersebut hampir ditemui di semua tingkatan
bangsa, daerah, jenis pekerjaan dan organisasi.
Rumah sakit sebagai sebuah organisasi terpengaruh oleh
perubahan budaya. Model perubahan budaya dapat dilihat sebagai suatu interaksi
antar berbagai budaya di berbagai tingkat kehidupan manusia. Dalam tingkat
global terjadi berbagai perubahan penting misalnya telekomunikasi, sistem
informasi, dan usaha peningkatan efisiensi di perusahaan. Sistem telekomunikasi
dengan satelit memungkinkan siaran televisi berjalan 24 jam misalnya, stasiun
televisi CNN yang menyiarkan berbagai peristiwa di seluruh pelosok dunia.
Internet meningkatkan efisiensi perusahaan dalam komunikasi. Pada intinya bahan
informasi menjadi tersedia dengan mudah. Globalisasi ini akan berinteraksi
dengan berbagai budaya. Secara nasional, budaya bangsa Indonesia akan
terpengaruh. Pada dasarnya aspek budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, tatanan hukum, kebiasan, dan berbagai kemampuan masyarakat, terpengaruh
oleh perubahan global.
Budaya rumah sakit keagamaan dan sosial yang berlandaskan
nilai-nilai kemanusiaan dan ideologi pemerataan mendapat kesulitan karena
keterbatasan subsidi. Secara de facto rumah sakit keagamaan berubah menjadi
lembaga usaha (Trisnantoro, 1999). Budaya usaha mencerminkan berbagai hal yaitu
rasionalitas, sistem manajemen yang berorientasi pada hasil, pengacuan pada
pasar, penggunaan prinsip-prinsip manajemen secara ilmiah dan penekanan pada
hubungan antarmanusia (Trice and Beyers, 1993). Perubahan budaya ini memang
tidak dapat dihindarkan.
Model interaksi antarbudaya para profesional kesehatan
seperti dokter spesialis terpengaruh pola global. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai tampilan budaya misalnya pengetahuan para dokter spesialis secara
teratur mendapat pengaruh global melalui berbagai jurnal ilmiah atau pertemuan-pertemuan
ilmiah di luar negeri. Sistem transportasi dan kekuatan ekonomi sudah
memungkinkan dokter dari kabupaten terpencil mengikuti pertemuan ilmiah di
Hongkong atau di Amerika Serikat. Gaya hidup dokter spesialis mempunyai tingkat
khusus. Berbagai perhimpunan dokter spesialis menyelenggarakan pertemuan ilmiah
dan kongres di hotel berbintang empat atau lima. Jenis mobil, rumah, dan
pendidikan keluarga merupakan bagian dari gaya hidup yang dapat dilihat sebagai
budaya kelompok dokter spesialis di suatu daerah.
Trice and Beyers (1993) berpendapat bahwa sebuah organisasi
dapat mempunyai budaya secara keseluruhan dan sekaligus mempunyai berbagai
subcultures. Sifat-sifat subcultures yang dimiliki oleh profesional dalam
organisasi mempunyai elemen yang sama dengan kultur organisasi. Berbagai ciri
tersebut antara lain:
1. Anggota
subculture mempunyai suatu rasa kebersamaan
2. Anggota
kelompok profesi saling belajar dari pengalaman kerja
3. Anggota
kelompok mempunyai keadaan emosi yang luar biasa dalam pekerjaannya
4. Citra diri
dan status sosial anggota meningkat dengan prestasi dalam pekerjaannya
5. Anggota
kelompok mengembangkan hubungan sosialnya ke kegiatan hidup di luar kerja.
Apabila rumah sakit terkena pengaruh budaya baru, kemungkinan
akan timbul konflik. Sebagai gambaran di sebuah rumah sakit terjadi konflik
budaya antara kelompok yang menghendaki perubahan berbasis efisiensi dengan
budaya profesi yang justru berkeinginan sebaliknya. Munculnya kebijakan
peningkatan efisiensi di rumah sakit merupakan bagian dari tuntutan budaya baru
rumah sakit yang terpengaruh oleh budaya global. Sementara itu, terdapat
sekelompok manajer rumah sakit yang cenderung korup karena menggunakan budaya
korupsi, atau sekelompok dokter yang mempunyai budaya pemikiran bahwa efisiensi
kerja di rumah sakit pemerintah bukan merupakan ukuran untuk penilaian prestasi
dan pencapaian hidup.
Keadaan ini akan menimbulkan konflik budaya. Contoh lain
konflik yaitu konflik antara direktur rumah sakit yang bermaksud menerapkan
kebijakan waktu bekerja yang ketat dengan dokter yang menginginkan waktu
bekerja yang fleksibel sesuai dengan kesibukan praktik di luar. Apabila
ditelusuri, konflik ini berakar dari budaya yang berbeda antara kebijakan baru
dan tradisi bekerja dokter. Dalam suasana konflik budaya antarkelompok
profesional maupun antarunit di rumah sakit maka akan menimbulkan kesulitan
menerapkan manajemen strategis sebagai konsep untuk pengembangan rumah sakit.
Langkah pertama dalam pengembangan konsep manajemen perubahan berupa mobilisasi
untuk pengembangan akan macet.
Budaya organisasi di berbagai rumah sakit dapat dianalisis
dengan pendekatan diferensiasi. Menurut perspektif diferensiasi budaya rumah
sakit dapat dilihat sebagai gabungan budaya berbagai profesi seperti budaya
para spesialis, budaya para perawat, budaya para manajer dan berbagai budaya
unit. Budaya tiap kelompok profesional ini dapat berada dalam keadaan harmonis,
saling mengacuhkan, atau pada situasi konflik. Sebagian konflik berasal dari
konflik antar pribadi, tetapi ada pula konflik yang bersumber pada perbedaan
pandangan mengenai arah dan strategi pengembangan rumah sakit. Konflik terjadi
karena memang terjadi perbedaan pandangan antarprofesi atau antara kelompok
dalam menanggapi
perubahan lingkungan. Sebagai gambaran, pengembangan budaya organisasi
berdasarkan kinerja menuntut adanya produktivitas yang optimal.
Produktivitas ini hanya dapat terjadi baik apabila para profesional di rumah
sakit bekerja penuh. Pengembangan budaya organisasi ini dapat bertentangan
dengan budaya kerja dokter (Martin, 2002).
D. Interaksi Antar Pasien Menurut
Antropologi
Pengetahuan
tentang proses-proses sosial memungkinkan kita untuk memperoleh pengertian
mengenai segi yang dinamis dari gerak masyarakat. Proses sosial yang dimaksud
adalah pertemuan individu, kelompok, dan masyarakat, yang kemudian berinteraksi
dan berkomunikasi, sehingga melahirkan sistem sosial, pranata sosial, serta
semua aspek kebudayaan. Proses sosial juga dapat diartikan sebagai cara-cara
berhubungan yang dapat dilihat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
sosial yang saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk hubungan mereka.
Mereka pun bisa mempradiksi hal-hal yang akan
terjadi jika muncul berbagai perubahan yang disebabkan oleh pola-pola
kehidupan. Dengan kata lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh
timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Proses sosial merupakan
hubungan yang dinamis dalam kehidupan masyarakat. Proses sosial seorang
individu ditentukan oleh lingkungan sosial budaya yang bersangkutan. Menurut
Nasution (dalam Ratna, 2013), proses sosial adalah proses kelompok-kelompok dan
individu-individu yang saling berhubungan, dan merupakan bentuk antara aksi
sosial. Sementara itu, Soerdjono Dirdjosisworo (dalam Ratna, 2013) mengartikan
proses sosial sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan
bersama. Sosialisasi atau proses sosial juga merupakan proses belajar atau
penyesuaian diri dari seseorang. Hal itu lalu berlanjut pada tahap mengadopsi
kebiasaan, sikap, dan ide-ide dari orang lain, serta mempercayai dan
mengakuinya sebagai milik pribadinya.
Menurut Abdulsani (dalam Ratna, 2013),
sosialisasi adalah usaha memasukkan nilai-nilai kebudayaan terhadap individu
sehingga individu tersebut menjadi bagian dari masyarakat.
1.
Tahap-Tahap
Proses Sosial
Proses sosial pada dasarnya merupakan
hal yang dapat kita pelajari, sejak masa kecil hingga dewasa. Hal ini
dirumuskan oleh George Herbert Mead menjadi sebuah teori yang disebut Teori
Mead. Mead berpendapat setiap manusia yang dilahirkan telah memiliki naluri,
yang kemudian berkembang dengan pengaruh lingkungannya. Dalam perkembangannya,
manusia akan melalui tahap-tahap tertentu melalui interaksinya dengan manusia
lain. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tahap Play Stage Pada tahap ini
seorang anak cenderung meniru peran orang yang ada di sekitarnya atau yang
paling sering berinteraksi dengannya. Pada tahap ini anak belum sepenuhnya
memahami peran yang ditirunya. Meski belum memahaminya, tahap ini merupakan
tahap awal sosialisasi dan dianggap sebagai tahap terbaik untuk memperkenalkan
anak pada peran-peran yang ada di lingkungan sekitarnya.
b. Tahap Game Stage Anak yang awalnya
hanya meniru peran tanpa memahaminya, di tahap ini akan mulai memahami
perannya, bahkan memahami peran yang dijalankan orang lain. Pada tahap ini,
anak akan cenderung merasa aneh, bahkan melayangkan protes jika melihat orang
lain tidak berbuat seperti apa yang dipahaminya.
c. Tahap Generalized Other Pada tahap
ini, anak telah tumbuh dewasa. Ditandai dengan kemampuan diri dalam mengambil
peran-peran yang dilakukan oleh orang lain dalam masyarakat. Perkembangannya
tersebut juga akan diimbangi dengan keahlian berinteraksi, hingga memiliki
kemampuan untuk membagi pemahamannya kepada orang lain. Sedikit berbeda dengan
Mead, Charles Cooley memiliki konsep tentang perkembangan diri manusia melalui
interaksi dengan orang lain yang diibaratkan seperti cermin.
2.
Faktor-Faktor
Interaksi Sosial
Proses sosial memiliki bentuk umum
yakni interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Berlangsungnya
suatu interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor. Pada kenyataannya,
interaksi sosial sering sangat kompleks, sehingga terkadang antara faktor satu
dengan yang lain sulit dibedakan. Namun terdapat faktor-faktor minimal yang
menjadi dasar bagi berlangsungnya interaksi sosial, yaitu:
a. Faktor Imitasi Jika ditinjau lebih
mendalam, faktor imitasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses
interaksi sosial. Faktor ini mempunyai segi positif, yakni dapat mendorong
seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Meski
demikian, ada pula sisi negatifnya jika yang ditiru adalah tindakan-tindakan
yang menyimpang. Selain itu, faktor imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan
mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.
b. Faktor Sugesti Faktor sugesti
berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal
dari dirinya, yang kemudian diterima oleh pihak lain. Proses ini sebenarnya
hampir sama dengan imitasi, tetapi titik-tolaknya berbeda. Berlangsungnya
sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, yang
berakibat pada terhambatnya daya berpikir secara rasional. Kemungkinan proses
sugesti ini terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah orang yang
berwibawa, atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Ada pula kemungkinan sugesti
terjadi apabila yang memberikan pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar
dari kelompok yang bersangkutan, atau masyarakat.
c. Faktor Identifikasi Identifikasi
sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada
imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya atau secara tidak
sadar. Namun bisa pula terjadi dengan disengaja karena sering kali seseorang
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Dapat
disimpulkan bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya
pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam dibandingkan dengan proses imitasi dan
sugesti. Walaupun masih ada kemungkinan bahwa proses identifikasi terjadi
dengan diawali proses imitasi ataupun sugesti.
d. Faktor Simpati Proses simpati
sebenarnya merupakan suatu proses dari seseorang yang merasa tertarik pada
pihak lain. Dalam proses ini perasaan memegang peranan sangat penting. Meski
demikian, dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak
lain dan untuk bekerjasama dengannya. Inilah perbedaan utama simpati dengan
identifikasi. Simpati lebih didorong oleh keinginan untuk belajar dari pihak
lain yang dianggap berkedudukan lebih tinggi dan harus dihormati. Dengan alasan
pihak lain tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan
tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan dapat berkembang dalam
suatu keadaan di mana faktor saling pengertian telah terjamin (Soekanto, 2010).
3.
Bentuk-Bentuk
Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat terjadi dalam
berbagai bentuk. Bentuk-bentuk tersebut dihasilkan dari suatu proses sosial.
Ada yang merupakan suatu kontinuitas, dan ada pula yang berlangsung
sendiri-sendiri atau saling terpisah. Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2010)
menyebutkan dua proses yang dihasilkan dari interaksi sosial yaitu proses
asosiatif dan proses disosiatif.
a. Proses Asosiatif
Yang dimaksud dengan proses asosiatif adalah sebuah proses terjadinya
saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang-perorangan atau
kelompok satu dengan lainnya.
b. Proses Disosiatif
Proses disosiatif merupakan proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh
individu-individu dan kelompok dalam proses sosial pada suatu masyarakat.
Oposisi dalam hal ini diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau
kelompok tertentu, atau norma dan nilai yang dianggap tidak mendukung perubahan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
BAB III
PENUTUTUP
A. Kesimpulan
1. Rumah sakit
sebagai sebuah organisasi terpengaruh oleh perubahan budaya. Model perubahan
budaya dapat dilihat sebagai suatu interaksi antar berbagai budaya di berbagai
tingkat kehidupan manusia.
2. Budaya
sebagai salah satu unsur dalam antropologi juga erat kaitannya dengan dunia
kesehatan masyarakat.
3. Dalam
ilmu kesehatan, antropologi memiliki peran yang cukup penting. Dengan
mengombinasikan antropologi dengan ilmu kesehatan, diperoleh berbagai manfaat
bagi praktik ilmu kesehatan itu sendiri
4. Proses sosial seorang individu
ditentukan oleh lingkungan sosial budaya yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
Effendy, Nasrul. 2016. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC
Foster, George M. dan Barbara G. Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan.
Jakarta: UI-Press.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Marimbi, Hanum. 2009. Sosiologi
dan Antropologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Muslimin. 2015. Perilaku Antropologi Sosial Budaya dan Kesehatan.
Yogyakarta: Deepublish.
Pratiwi, Arum. 2011. Keperawatan Transkultural. Yogyakarta: Gosyen
Publishing
Ratna,
Wahyu dan Sutrisno. 2013. Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Aplikasinya
di Pendidikan Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Wahyu, Ramdani. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Posting Komentar